Tujuan Pendidikan Dalam Perspektif Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia, karena saat manusia dilahirkan ia tidak mengetahui sesuatu apa pun. Namun di sisi lain manusia memiliki potensi dasar (fitrah) yang an harus dikembangkan sampai batas maksiamal.
Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di bumi. Manusia dengan segala keunikan dan potensi yang dimilikinya.
Di dalam makalah ini akan dibahas pandangan al-qur’an tentang hakikat manusia beserta potensi yang dimilikinya dan hubungannya dengan pendidikan Islam.
B.                 Rumusan Masalah
1.      Apakah hakikat manusia?
2.      Bagaimana konsep al-Insan, Al-Basyar, al-Nas dan Bani Adam dan implikasinya dalam pendidikan?
3.      Bagaimana keberadaan potensi manusia dan implikasinya dalam pendidikan?
4.      Apakah tujuan pendidikan dalam perspektif Islam?











BAB II
PEMBAHASAN
A.                Hakikat Manusia
Al-quran menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di bumi. Dalam memperbincangkan manusia, Al-quran menggunakan tiga nama yaitu al-Insan, al-Basyar dan Bani Adam. Kata al-Insan diungkapkan dalam empat bentuk kata; al-Insan,terulang sebanyak 65 kali,  al-Ins, al-Unas dan al-Nas. Sedangkan kata Basyar  dan Bani Adam masing-masing dalam bentuk mashdar dan idhafah.[1]
Kata al-Insan terbentuk dari kata nasiya yang berarti lupa. Kata al-Insan dinyatakan dalam al-Quran sebanyak 65 kali. Penggunaan kata al-Insan pada umumnya digunakan untuk menggambarkan keistimewaan manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan makhluk psikis di samping makhluk fisik. Psikis manusia memiliki potensi dasar, yaitu akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan tertinggi dibanding makhluk-Nya yang lain. Nilai psikisnya sebagai al-Insan, al-Bayan[2] yang dipandu wahyu ilahiyah akan membantu manusia dalam membentuk dirinya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang terwujud dalam perpaduan iman dan amalnya. Dengan pengembangan nilai-nilai tersebut, akhirnya manusia mampu mengemban amanah Allah di muka bumi.
Kata al-Insan juga menunjukkan pada proses kejadian manusia, baik proses penciptaan Adam maupun proses manusia pasca Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan berproses.
Bila proses penciptaan manusia sebagaimana dimaksud di atas dianalisis lebih mendalam, maka penggunaan kata al-Insan pada ayat di atas mengandung dua dimensi. Pertama, dimensi tubuh (dengan berbagai unsurnya). Kedua dimensi spiritual (ditiupkan roh-Nya kepada manusia).
Kata al-Basyar dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 37 kali. Secara etimologi, al-Basyar merupakan bentuk jamak dari kata al-Basyarat yang berarti kulit kepala, wajah dan tubuh menjadi tempat tumbuhnya rambut. Pemaknaan manusia dengan al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti membutuhkan makan, minum, perlu hiburan, hubungan seks dan lain sebagainya. Kata al-Basyar ditunjukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Hal ini berarti Nabi dan Rasul pun memiliki dimensi al-Basyar seperti yang diungkapkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an.
Kata al-Nas dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali. Kata al-Nas menunjukkan pada hakekat manusia sebagai makhluk sosial dan ditunjukkan kepada seluruh manusia secara umum tanpa melihat statusnya apakah beriman atau kafir.
Penggunaan kata ini lebih bersifat umum dalam mendefenisikan manusia, dibanding dengan kata al-Insan.
Selain pengertian di atas, kata al-Nas juga dipakaikan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa karakteristik manusia senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah SWT dengan berbagai potensi yang bisa digunakan untuk mengenal Tuhannya, namun hanya sebagian manusia yang mau menggunakannya sesuai dengan ajaran Tuhannya. Sedangkan sebagian yang lain tidak menggunakan potensi tersebut bahkan ada yang menggunakan untuk menentang keMahakuasaan Tuhan.
Kata al-Nas juga dipergunakan al-Qur’an yaitu untuk penunjukan kepada makna lawan dan binatang buas.[3] Ia diasumsikan sebagai makhluk yang senantiasa tunduk pada alam di mana ia berada. Kata al-Nas, selalu dipertentangkan dengan kata al-jin yang diartikan sebagai makhluk yang senantiasa melalukan mafsadah di muka bumi.
Kata Bani Adam terulang sebanyak 5 kali. Kata ini menunjukkan pengertian kepada manusia itu keturunan dari Nabi Adam a.s. dan pengakuannya kepada Tuhan dan manusia diistimewakan dari makhluk lain dan dijamin keselamatannya bila ia mematuhi aturan penciptanya.
Pendefenisian yang dinyatakan Allah SWT dalam al-Qur’an dengan menyebut manusia dengan istilah  al-Insan, al-Basyar dan Bani Adam memberikan gambaran akan keunikan serta kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Hal ini menunjukkan manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek materi (fisik) immateri (psikis) yang dipandu oleh ruh Ilahiah. Antara aspek fisik dan aspek psikis saling berhubungan.
B.                 Konsep al-Insan. Al-Basyar, al-Nas dan Bani Adam dan Implikasinya dalam Pendidikan
Kata al-Insan mengandung keunikan, di samping memiliki keistimewaan, ia juga memiliki keterbatasan, seperti tergesa-gesa, kikir, suka membantah, gelisah dan sebagainya. Upaya pendidikan diarahkan untuk menghilangkan serta menggantikan atau setidak-tidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tersebut.
Kata Al-Basyar memberikan pengertian manusia sebagai makhluk biologis. Dengan adanya sifat biologis maka manusia memerlukan kebutuhan biologis. Oleh sebab itu pendidikan memberikan panduan tentang haram dan haram dalam memenuhi kebutuhan manusia.
Kata al-Nas menunjukkan manusia sebagai makhluk social, yang menyebabkan terjadinya interaksi dan komunikasi antar manusia. Dal;am berintegrasi tersebut, diperlukan  pendidikan agama sebagai control social.
Sedangkan kata Bani Adam memberikan pengertian bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Namun apabila kesalahan terlanjur dikerjakan, maka segera bertaubat. Pendidikan diarahkan agar mengajarkan peserta didik bagaimana cara bertaubat bila bersalah kepada Tuhan dan minta maaf bila kesalahan tersebut berkaitan dengan manusia.[4]
C.                Keberadaan Potensi Manusia dan Implikasinya terhadap Pendidikan
  1. Potensi rabbaniyah
Potensi rabbaniyah ialah sifat-sifat ke-Tuhanan yang telah ada pada diri manusia semenjak manusia diciptakan Allah SWT. Menurut Hasan Langgulung dalam filsafat pendidikan Islam manusia dilengkapi oleh Allah SWT dengan potensi sifat-sifat ketuhanan yang terdapat pada ruh manusia yang berasal dari Allah SWT. Maka sifat-sifat Allah SWT, sebagai asal ruh manusia mengalir pada sifat-sifat manusia, sifat-sifat rabbaniyah tersebut.
Potensi rabbaniyah tersebut memiliki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan untuk, bertumpu pada sifat-sifat rabbaniyah. Pendidikan harus dapat mengembangkan sifat-sifat rabbaniyah yang ada pada manusia secara seimbang dan maksimal.
  1. Potensi diniyah /religious/ potensi beragama
Potensi beragama (fitrah addin) telah dibawa semenjak dalam rahim ibu. Potensi ini bermula ketika Allah SWT mengambil kesaksian kepada ruh, ketika ruh berada di alam arwah sebelum ruh ditiupkan ke dalam setiap manusia di dalam rahim.
Firman Allah QS. 7 : 172
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢
172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"
Potensi religious (fitrah diniyah) menuntut agar pendidikan diarahkan kepada mentauhidkan Allah SWT. Apa saja yang dipelajari peserta didik seharusnya tidak bertentangan dengan prinsip at-tauhid, dan juga tidak boleh bertentangan atau menjauhkan peserta didik dari rabbnya (tauhid).
  1. Potensi Hissiyah (potensi emosional)
Dalam al-Qur’an potensi emosional diungkapkan dalam dua bentuk yaitu al-Qalb dan al-Afidah.
  1. Kata al-Qalb yang berarti isi hati atau perasaan (emosi)[5]
Lapal Qalb terdapat dalam al-Quran sebanyak 6 kali, mufassirin mengartikannya dengan hati yang berada di dalam dada[6] tentu sesuai dengan fungsi hati untuk merasa.
Hati manusia dapat mengalami kebersihan, ketenangan, sehat dan bahkan kotor dan sakit.
  1. Al-Afidah berarti hati kecil (kata hati).
Kata Afidah dalam berbagai ungkapan terdapat terdapat dalam al-Qur’an sebanyak 3 kali yang mengisyaratkan pengertian hati kecil (kata hati).
Firman Allah Q.S. 6 : 113:
وَلِتَصۡغَىٰٓ إِلَيۡهِ أَفۡ‍ِٔدَةُ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأٓخِرَةِ وَلِيَرۡضَوۡهُ وَلِيَقۡتَرِفُواْ مَا هُم مُّقۡتَرِفُونَ ١١٣
113. Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan
            Para pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran hendaknya dapat menginternalisasikan nilai-nilai positif dari semua mata pelajaran yang diarahkan sehingga hati dapat berfungsi menggerakkan semua potensi-potensi lainnya, secara seimbang dan dapat bekerja sama dengan aql dan nafs.
  1. Potensi Intelektual
Potensi intelektual dengan media internalnya akal untuk berfikir dan mata untuk melihat sebagai media eksternalnya, diungkapkan dalam al-Quran dengan kata al-Qalb dan al-Fikr dengan bermacam bentuk ungkapan.
1.      Kata aql berarti memahami atau mengerti.[7]
2.      Kata al-Fikr berarti pikiran.[8]
Kata al-Fikr terdapat sebanyak 12 kali, pada umumnya para mufassirin mengartikan dengan berfikir yang mengisyaratkan pengertian kepada potensi intelektual (berpikir)
Dengan adanya potensi intelektual menuntut pendidik menjadikan peserta didik menjadi seorang yang berpredikat “ulul al-Bab” yaitu seorang cendekiawan muslim atau intelektual muslim yang dapat melatih daya intelek, daya pikir dan daya nalarnya, untuk memikirkan ayat-ayat Allah baikyang terdapat dalam wahyu dan dalam alam semesta.

  1. Potensi biologis
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa istilah yang mengisyarakatkan kepada adanya potensi dorongan biologis pada diri manusia, antara lain dengan kata al-Syahwat yang berarti keinginan, libido (dorongan seksual).[9]. Al- nafs yang berarti hasrat, kehendak.[10] Dan dengan kata hawa yang berarti mencintai, senang dan menyukai[11]semua kata tersebut mengisyaratkan kepada potensi biologis manusia.
Firman Allah SWT dalam Q.S. 3 : 14
Dengan adanya potensi biologis tersebut pendidikan seharusnya dapat :
1.      Mengembangkan nafsu anak didik pada ktifitas yang positif misalnya mengaktifkan nafsu agresif dengan memberikan sejumlah tugas harian yang menantang.
2.      Menanamkan rasa keimanan yang kuat dan kokoh, sehingga di mana pun peserta didik berada, tetap dapat menjaga dirinya dari pengaruh hawa nafsu yang membawanya kepada perbuatan amoral atau asusila.
3.      Menghindarkan pendidikan yang bercorak materialistik, karena nafsu mempunyai kecenderungan serba kenikmatan tanpa mempertimbangkan potensi lainnya. Dengan demikian, dalam diri peserta didik, diharapkan agar terbentuk dengan sendirinya suatu kepribadian yang Islami, atau setidak-tidaknya dapat mengurangi dorongan nafsu serakahnya.
D.                Tujuan Pendidikan dalam Perspektif Islam
Pendidikan Islam, seperti pendidikan pada umumnya berusaha membentuk kepribadian manusia, harus melalui proses yang panjang dengan hasil yang tidak dapat diketahui dengan segera.
Sehubungan dengan hal tersebut pendidikan Islam harus memahami dan menyadari betul apa sebenarnya yang ingin dicapai dalam proses pendidikan. Sesuatu yang akan dicapai tersebut dalam istilah pendidikan disebut dengan tujuan pendidikan.
Istilah “tujuan” atau “sasaran” atau “maksud”, dalam bahasa Arab dinyatakan dengan ghayat atau ahdaf  atau maqasid. Secara umum istilah-istilah itu mengandung pengertian yang sama, yaitu arah perbuatan atau yang hendak dicapai melalui upaya atau aktivitas.[12]
Dalam tujuan pendidikan Islam, tujuan tertinggi atau terakhir pada akhirnya sesuai dengan tujuan hidup manusia, dan perannya sebagai makhluk ciptaan Allah.
Tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan dan berlaku umum, karena sesuai dengan konsep ketuhanan yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi tersebut dirumuskan dalam satu istilah yang disebut “insan kamil”(manusia paripurna).[13]
Indicator dari insan kamil tersebut menurut Ramayulis adalah :
1.      Menjadi hamba Allah
Tujuan ini sejalan dengan tujuan hidup dan penciptaan manusia, yaitu semata-mata beribadat kepada Allah. Dalam hal ini pendidikan harus memungkinkan manusia memahami dan menghayati tentang Tuhannya sedemikian rupa, sehingga semua peribadatannya dilakukan dengan penuh penghayatan dan kekhusukan. Tujuan ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Dzariyat : 56 :
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
2. mengantarkan subjek didik menjadi khalifah Allah fi al-ardh, yang mampu memakmurkan bumi dan melestarikannya dan lebih jauh lagi, mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya, sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Firman Allah dalam surah al-Baqoroh ayat 30 :
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٠
30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"
3. untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, baik individu maupun masyarakat. Sesuai dengan firman Allah surat al-Qashash ayat 77:
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧
77. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan
Ketiga tujuan tertinggi tersebut pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena pencapaian tujuan yang satu memerlukan pencapaian tujuan yang lain, bahkan secara ideal ketiga-tiganya harus dicapai secara bersama melalui proses pencapaian yang sama dan seimbang.
Menurut Zakiah Daradjat, pendidikan Islam berlangsung selama hidup, maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia berakhir pula. Tujuan umum yaitu membentuk insan kamil dan pola taqwa . Tujuan akhir pendidikan Islam dapat dipahami dalam firman Allah SWT surat al-Imran ayat 102 :
يٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ ١٠٢
102. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam
Mati dalam berserah diri kepada Allah sebagai muslim yang merupakan ujung dari taqwa.[14]
Ungkapan iqra’ yang mengawali penyampaian pesan-pesan ilahi kepada manusia melalui Muhammad SAW di mana ungkapan itu bermakna tonggak utama dalam pencarian ilmu, dikaitkan dengan Tuhan (iqra’ bismi rabbik). Hal ini berarti belajar, meneliti, membaca dan segala aktivitas pencarian ilmu lainnya mesti dimulai dari Allah.
Berdasarkan hal tersebut maka tujuan pendidikan Islam yaitu “membentuk peserta didik menjadi insan yang shaleh dan bertaqwa kepada Allah SWT.[15]














BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
1.      Manusia dalam pandangan al-Qur’an merupakan makhluk yang unik dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
2.      Pendidikan Islam seharusnya mampu membentuk pribadi peserta didik dengan acuan nilai-nilai Ilahiyah, sehingga menjadi insan kamil.
B.     Saran-saran
Demikianlah makalah ini disusun. Penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah di masa mendatang. Atas kritik dan saran yang diberikan penulis ucapkan terima kasih.













DAFTAR KEPUSTAKAAN
Daradjat, Zakiah.  2016. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Ibn Manzhur. 1992. Qamus Lisan alArab, juz 4. Beirut: Dar al-Mishriyyah.
Kadar M. Yusuf. 2013.  Tafsir Tarbawi pesan-pesan Alqur’an tentang Pendidikan. Jakarta: Amzah.
Ramayulis. 2015. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
_________. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia


[1] Ibid. h. 4
[2] al-Bayan ditafsirkan oleh al-Syaukani kepada manusia yang memiliki kemampuan berbicara, mengetahui halal dan haram, kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan dan sebagainya.Muhammad Ibn Ali al-Syaukani, Fath al-Qadir.(Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1964), h. 465
[3] Ibn Manzhur, Qamus Lisan alArab, juz 4, (Beirut: Dar al-Mishriyyah, 1992), h. 172
[4] Ramayulis.Ilmu Pendidikan Islam,( Jakarta: Kalam Muia, 2015), h. 24-25
[5] A.W. Munawwar,Kamus al-Munawwar, (Yokyakarta: Pustaka Progresif, 1997), h.43
[6] M. Fu’ad ‘Abd “ab al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an, (Libanon: Dar al-Fikr, 1992), h. 519
[7] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yokyakarta: Multi Karya Grafika, 1999), h. 1307
[8] Ibid. h. 1403
[9] Al- Munawwir, h. 749
[10] Ibid. h. 1446
[11] Ibid, h. 1526
[12] Ibid., h. 209
[13] Ibid., h. 211
[14] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2016), h. 31
[15] Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi pesan-pesan Alqur’an tentang Pendidikan, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 82

Belum ada Komentar untuk "Tujuan Pendidikan Dalam Perspektif Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel