Konsepsi Roh
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia tersusun dari dua unsur yaitu roh dan
jasad. Dari segi jasad sebagian karakteristik manusia sama dengan binatang,
sama-sama memilki dorongan untuk berkembang dan mempertahankan diri serta
berketurunan. Namun dari segi roh manusia sama sekali berbeda dengan makhluk
lain. Allah menyempurnakan kejadian manusia dengan meniupkan roh kepada
struktur jasad manusia untuk menerimanya.
Alllah berfirman dalam Q.S. al-Hijr : 29:
Sehubungan dengan ayat tersebut al-Ghazali
menjelaskan :
“Insan adalah makhluk yang diciptakan dari
tubuh yang dapat dilihat oleh pandangan dan jiwa yang bisa ditanggapi oleh akal
dan bashirah. Tetapi tidak dengan panca indera. Tubuhnya dikaitkan dengan tanah
dan ruhnya pada nafs atau diri/jiwanya. Allah maksudkan ruh itu ialah apa yang
kita ketahui sebagai jiwa atau an-nafs.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Roh
Menurut Ibn Zakariya kata al-ruh dan
semua kata yang memilki kata aslinya terdiri dari huruf ra, wawu, ha ; mempunyai
arti dasar besar, luas dan asli. Makna itu mengisyaratkan bahwa al-ruh merupakan
sesuatu yang agung, besar dan mulia, baik nilai maupun kedudukannya dalam diri
manusia.[2]
Al-Raghib al-Asfahany menyatakan di antara
makna al-ruh adalah al-nafs (jiwa manusia). Makna di sini adalah
dalam arti aspek atau dimensi, yaitu bahwa sebagian aspek atau dimensi jiwa
manusia adalah al-ruh.[3]
Al-Ghazali membagi roh kepada dua bentuk:
1. Al-ruh, yaitu daya manusia untuk mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannya dan
mencapai ilmu pengetahuan, sehingga dapat menentukan manusia berkepribadian,
berakhlak mulia serta menjadi motivator sekaligus penggerak bagi manusia dalam
melaksanakan perintah Allah SWT.
2. Al-nafs yang berarti panas alami yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi,
otot-otot dan syaraf manusia. Ia sebagai tanda adanya kehidupan pada diri
manusia. Al-nafs dalam konteks ini didistilahkan dengan nyawa (al-hayat),
yang membedakan manusia dengan benda mati, tapi tidak membedakannya dengan
makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan, karena sama-sama memilki al-nafs . Akan
tetapi berbeda pada tingkat esensial antara al-nafs, manusia sebagai
makhluk mulia dan makhluk-makhluk lainnya yang sama-sama memilki al-nafs.[4]
B. Karakteristik al-ruh
Mengenai
al-ruh ada beberapa karakteristik antara lain :
1. Ruh berasal dari Tuhan dan bukan berasal dari tanah/bumi.
2. Ruh adalah unik, tak sama dengan akal budi, jasmani dan jiwa manusia. Ruh yang
berasal dari Allah itu merupakan sarana pokok untuk munajat ke hadirat-Nya.
3. Ruh tetap hidup sekalipun kita tidur/tak sadar.
4. Ruh dapat menjadi kotor dengan dosa dan noda, tapi dapat pula dibersihkan dan
menjadi suci.
5. Ruh karena sangat lembut dan halusnya mengambil “wujud” serupa “wadah”nya,
paralel dengan zat cair, gas dan cahaya yang “bentuk”nya serupa tempat ia
berada.
6. Tasawuf mengikutsertakan ruh ketika beribadah kepada Tuhan.
7. Tasawuf melatih untuk menyebut kalimat Allah tidak saja sampai pada taraf
kesadaran lahiriah tapi juga tembus ke dalam alam rohaniah. Kalimat Allah yang
termuat dalam ruh itu pada gilirannya dapat membawa ruh itu
sendiri ke alam ketuhanan.[5]
C. Psikoanalisis
Al-Shari’ati menyebut roh yang ditiupkan
kepada manusia adalah the spirit of God (ruh Ilahi). Roh ini bersifat metafisis
(gaib), dinamis, menghidupkan dan “luhur” di atas. Dengan sifatnya
yang dinamis, memungkinkan manusia untuk meraih derajat yang setingi-tingginya.
Atau menjerumuskan diri pada derajat yang serendah-rendahnya. Manusia memilki
kehendak bebas (the freedomm of will) untuk mendekatkan diri ke kutub “Roh
Ilahi” atau ke arah kutub “tanah”. [6]
Firman Allah SWT Q.S. al-Syams : 7-10:
Berdasarkan ayat tersebut dapat dilihat bahwa
roh manusia itu bisa berkembang ke taraf yang lebih tinggi apabila manusia
berusaha ke arah itu. Menurut al-Ghazali jalan ke arah itu adalah peningkatan
iman, amal dan mempererat hubungan yang terus menerus dengan Allah SWT, melalui
ibadah terus menerus, tilawah al-Qur’an dan doa atau dengan kata lain
melalui peningkatan keberagamaan. Dengan memperbanyak ibadah maka rohani
manusia akan mencapai kebahagiaan dan ketentraman yang tiada taranya. [7]
Setiap manusia dalam hidupnya menginginkan
kebahagiaan dan pada hakekatnya setiap usaha yang dilakukan oleh manusia adalah dalam rangka mewujudkan
kebahagiaan tersebut. Berbagai usaha telah dilakukan manusia untuk mencari
kebahagiaan. Dengan akal, ilmu pengetahuan, teknologi dan berbagai fasilitas
telah berhasil diciptakan manusia untuk menunjang kehidupannya, namun
kebahagiaan tidak diperoleh. Malahan berbagai fasilitas tersebut dapat
menimbulkan berbagai problema dan kesulitan. Secara fisik materil kebutuhan
manusia terpenuhi, namun secara mental spirituil mengalami pendangkalan.
Padahal dimensi mental spiritual inilah yang mampu menjamin kebahagiaan
manusia. Islam dengan enam poko keimanan (arkanul iman), dan lima pokok
ajarannya (arkanul Islam) memupuk dan mengembangkan fungsi-fungsi
kejiwaan dan memelihara keseimbangannya serta menjamin ketentraman batin.[8]
Tasawuf Islam mengajarkan metode dan teknik-teknik
munajat dan sholat khusuk guna meningkatkan derajat ruh mencapai taraf al-nafs
al-muthmainnah/lebih tinggi lagi sehingga diharapkan manusia dapat
mengembangkan diri mencapai kualitas insan kamil. [9]
[1]
Al-Ghazali, Mi’raj as-Salikin,
(Kairo: al-Saqafat al-Islamiyat, 1964), h. 16
[2]
Baharudin, Paradigma Psikologi
Islam Studi tentang Elemen Psikologi
dari Al-Qur’an, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 136
[4]
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan
Islam, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya,(Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1993), h. 111
[5]
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi
Psikologi dengan Islam menuju Psikologi Islami, (Yokyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), cet. Ke-3, h.95
[6]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2015), h. 150
[8]
Lihat al-Ghazali dalam Sakirman M.
Noor, Paradigma Pendidikan Islam, (Padang: Baitul Hikmah, 2000), h 17
[9]
Hanna Djumhana Bastaman, Op.Cit. h.
94
Belum ada Komentar untuk "Konsepsi Roh"
Posting Komentar